KEJUJURAN DAN PENTINGNYA KEJUJURAN
1.
Pengertian
Kejujuran
Kejujuran adalah perhiasan orang berbudi mulia dan
orang yang berilmu. Oleh sebab itu, sifat jujur sangat dianjurkan untuk
dimiliki setiap umat Rasulullah saw. Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (Q.S. an-Nisa: 58). “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan
Rasul-Nya dan janganlah kamu menghianati amanah-amanah yang dipercayakan
kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (Q.S. al-Anfal: 27).
Dari
dua ayat tersebut didapat pemahaman bahwa manusia, selain dapat berlaku tidak
jujur terhadap dirinya dan orang lain, adakalanya berlaku tidak jujur juga
kepada Allah dan Rasul-Nya. Maksud dari ketidakjujuran kepada Allah dan
Rasul-Nya adalah tidak memenuhi perintah mereka. Dengan demikian, sudah jelas
bahwa kejujuran dalam memelihara amanah merupakan salah satu perintah Allah dan
dipandang sebagai salah satu kebajikan bagi orang yang beriman.
Orang yang mempunyai sifat jujur akan dikagumi dan dihormati banyak orang. Karena orang yang jujur selalu dipercaya orang untuk mengerjakan suatu yang penting. Hal ini disebabkan orang yang memberi kepercayaan tersebut akan merasa aman dan tenang.
Orang yang mempunyai sifat jujur akan dikagumi dan dihormati banyak orang. Karena orang yang jujur selalu dipercaya orang untuk mengerjakan suatu yang penting. Hal ini disebabkan orang yang memberi kepercayaan tersebut akan merasa aman dan tenang.
Jujur
adalah sikap yang tidak mudah untuk dilakukan jika hati tidak benar-benar
bersih. Namun sayangnya sifat yang luhur ini belakangan sangat jarang kita
temui, kejujuran sekarang ini menjadi barang langka. Saat ini kita membutuhkan
teladan yang jujur, teladan yang bisa diberi amanah umat dan menjalankan amanah
yang diberikan dengan jujur dan sebaik-baiknya. Dan teladan yang paling baik,
yang patut dicontoh kejujurannya adalah manusia paling utama yaitu Rasulullah
saw. Kejujuran adalah perhiasan Rasulullah saw dan orang-orang yang berilmu.
2.
Hadits-hadits
tentang kejujuran membawa kepada kebajikan
حَدِيثُ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بن مسعود رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ/ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ / إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ/
وَإِنَّ الْبِرَّ
يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ /وَإِنَّ الرَّجُلَ
لَيَصْدُقُ /حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا /وَإِنَّ الْكَذِبَ
يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ /وَإِنَّ الْفُجُورَ
يَهْدِي إِلَى النَّارِ /وَإِنَّ الرَّجُلَ
لَيَكْذِبُ /حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا. (أخررجه
البخارى فى كتاب الأدب)
Abdullah Ibnu
Mas’ud berkata bahwa Nabi SAW bersabda, ”Sesungguhnya benar (jujur) itu menuntun
kepada kebaikan, dan kebaikan itu
menuntun ke surga, dan seseorang itu
berlaku benar sehingga tercatat di sisi
Allah sebagai seorang yang siddiq (yang sangat jujur dan benar). Dan dusta menuntun kepada curang, dan curang itu menuntun ke dalam neraka. Dan
seorang yang berdusta sehingga tercatat
di sisi Allah sebagai pendusta”.(Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam kitab
“Tatakrama”)
Penjelasan Hadis dan Ayat Al-Quran yang Berhubungan.
Sebagaimana diterangkan di atas bahwa berbagai
kebaikan dan pahala akan diberikan kepada orang yang jujur, baik di dunia
maupun kelak di akhirat. Ia akan dimasukkan ke dalam surga dan mendapat gelar
yang sangat terhormat, yaitu siddiq, artinya orang yang sangat jujur dan benar.
Bahkan dalam Al-Quran dinyatakan bahwa orang yang selalu jujur dan selalu
menyampaikan kebenaran dinyatakan sebagai orang yang bertaqwa : “Orang-orang yang dating menyampaikan
kebenaran dan melakukannya (kebenaran itu), mereka itulah orang-orang yang
taqwa.” (Q.S. Az-Zumar: 33)
Hal itu sangat pantas diterima oleh mereka yang jujur
dan dipastikan tidak akan berkhianat kepada siapa saja, baik kepada Allah SWT,
sesama manusia, maupun dirinya sendiri. Orang yang jujur akan melaksanakan
segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, serta mengikuti segala
Sunnah Rasulullah SAW, karena hal itu merupakan janjinya kepada Allah ketika
mengucapkan kedua kalimah syahadat.
Sebenarnya, Allah SWT telah memperingati kepada
hambanya agar berhati-hati dalam setiap ucapan dan perbuatan karena setiap
orang selalu diawasi dan dicatat segala gerak-geriknya oleh malaikat Rakib dan
“Atid. Allah berfirman : “Tiada
menyatakan sepatah kata pun, melainkan ada pengawas yang selalu siap mencatat
(malaikat Raqid Atid)” (Q.S. Qaf: 18)
Oleh karena itu, setiap orang beriman hendaklah tidak
asal bicara apalagi terhadap sesuatu yang belum jelas dan belum ia ketahui
kebenarannya secara pasti. Allah SWT berfirman: “Janganlah
mengikuti pembicaraan apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. Al-Israa’: 36)
Jika seseorang
berusaha untuk berkata benar, manfaatnya bukan hanya bagi dirinya tetapi juga
bagi orang lain. Begitu pun sebaliknya, jika seseorang berkata dusta
perbuatannya itu selain merugikan dirinya, juga merugikan orang lain karena tidak
akan ada lagi orang yang mempercainya. Padahal kepercayaan merupakan salah satu
moal utama dalam menempuh kehidupan di dunia. Tanpa kepercayaan seseorang sulit
menemukan kesuksesan, bahkan tidak mustahil hidupnya akan cepat hancur. Hal itu
telah digariskan dalam Al-Qur’an: “Sungguh
celaka orang-orang yang suka berdusta.” (Q.S. Adz-Dzariyat: 10)
Dalam hadits lain, Ali bin Abi Thalib
berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya di surga ada kamar-kamar
yang terlihat bagian luarnya dari dalamnya, dan bagian dalamnya dari luarnya.”
Kemudian seorang dusun berdiri dan berkata, “Ya Rasulallah, bagi siapakah
kamar-kamar itu?” Rasulullah Saw. menjawab: “Bagi orang yang baik tutur katanya
dan suka memberi makan kepada orang lain, terus berpuasa serta shalat di waktu
malam ketika orang-orang sedang tidur.” (H.R. Tirmidzi)
”Abu
Khalid Hakim bin Hizam ra. ia masuk Islam ketika kota Makkah di buka. Sedangkan
ayahnya termasuk tokoh Quraisy, baik ketika di zaman jahiliyah maupun setelah
masuk Islam. Ia menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam pernah bersabda, "Dua orang yang berjual beli, hendaknya bebas memilih
sebelum mereka berpisah. Jika keduanya jujur & berterus terang di dalam
berjual beli, maka keduanya akan mendapatkan berkah. Namun jika keduanya
menyembunyikan & dusta, maka jual beli itu tidak akan membawa berkah."
(HR. Muttafaq alaih).
3. Pembagian
kejujuran
Berbicara kejujuran (dalam bahasa arab
disebut sebagai Ash-Shidqun), kejujuran terbagi menjadi 5 macam, yaitu:
A. Shidq
Al-Qalbi (jujur dalam berniat).
Hati
adalah poros anggota badan. Hati adalah barometer kehidupan. Hati adalah sumber
dari seluruh gerak langkah manusia. Jika hatinya bersih, maka seluruh
perilakunya akan mendatangkan manfaat. Tapi jika hatinya keruh, maka seluruh
perilakunya akan mendatangkan bencana. Rasulullah Saw. bersabda, “Ingatlah,
dalam tubuh itu ada segumpal daging. Bila ia baik, akan baiklah seluruh tubuh.
Dan bila ia rusak, rusaklah ia seluruhnya. Itulah qalbu (hati).” (H.R.
Bukhari).
Itulah
hati dan kejujuran yang tertanam dalam hati akan membuahkan ketentraman,
sebagaimana firman-Nya,
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.” (Q.S. Ar-Ra’d : 28)
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.” (Q.S. Ar-Ra’d : 28)
B. Shidq
Al-Hadits (jujur saat berucap).
Jujur
saat berkata adalah harga yang begitu mahal untuk mencapai kepercayaan orang
lain. Orang yang dalam hidupnya selalu berkata jujur, maka dirinya akan
dipercaya seumur hidup. Tetapi sebaliknya, jika sekali dusta, maka tak akan ada
orang yang percaya padanya. Orang yang selalu berkata jujur, bukan hanya akan
dihormati oleh manusia, tetapi juga akan dihormati oleh Allah Swt. sebagaimana
firman-Nya, “Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar,
niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu
dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia
telah mendapat kemenangan yang besar.”
(Q.S. Al-Ahzab : 70-71)
Hidup
dalam naungan kejujuran akan terasa nikmat dibandingkan hidup penuh dengan
dusta. Rasulullah Saw. bahkan mengkatagorikan munafik kepada orang-orang yang
selalu berkata dusta, sebagaimana sabdanya, “Tanda-tanda orang munafik itu ada
tiga; bila berucap dusta, kala berjanji ingkar dan saat dipercaya khianat.”
(H.R. Bukhari dan Muslim)
C. Shidq
Al-’Amal (jujur kala berbuat).
Amal
adalah hal terpenting untuk meraih posisi yang paling mulia di surga. Oleh
karena itu, kita harus selalu mengikhlaskan setiap amal yang kita lakukan.
Dalam berdakwah pun, kita harus menyesuaikan antara ungkapan yang kita
sampaikan kepada umat dengan amal yang kita perbuat. Jangan sampai yang kita
sampaikan kepada umat tidak sesuai dengan amal yang kita lakukan sebab Allah SWT sangat membenci
orang-orang yang banyak berbicara tetapi sedikit beramal.
“Hai orang-orang yang
beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar
kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu
kerjakan.” (Q.S. Ash-Shaff : 2-3)
Jadi,
yang harus kita lakukan adalah banyak bicara dan juga beramal agar kita bisa
meraih kenikmatan surga.
D. Shidq
Al-Wa’d (jujur bila berjanji).
Janji
membuat diri kita selalu berharap. Janji yang benar membuat kita bahagia. Janji
palsu membuat kita selalu was-was. Maka janganlah memperbanyak janji (namun
tidak ditepati) karena Allah Swt. sangat membenci orang-orang yang selalu
mengingkari janji sebagaimana dalam firman-Nya, “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan
janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang
kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu).
Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (Q.S. An-Nahl 91 “…Dan
penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.”
(Q.S. Al-Israa :
34)
E. Shidq
Al-Haal (jujur dalam kenyataan).
Orang
mukmin hidupnya selalu berada di atas kenyataan. Dia tidak akan menampilkan
sesuatu yang bukan dirinya. Dia tidak pernah memaksa orang lain untuk masuk ke
dalam jiwanya. Dengan kata lain, seorang mukmin tidak hidup berada di bawah
bayang-bayang orang lain. Artinya, kita harus hidup sesuai dengan keadaan diri
kita sendiri. Dengan bahasa yang sederhana, Rasulullah Saw. mengingatkan kita
dengan ungkapan, “Orang yang merasa kenyang dengan apa yang tidak diterimanya
sama seperti orang memakai dua pakaian palsu.” (H.R. Muslim). Dari ungkapan
ini, Rasulullah Saw. menganjurkan kepada umatnya untuk selalu hidup di atas
kenyataan dan bukan hidup dalam dunia yang semu.
4.
Pentingnya kejujuran
Tanamkan Sifat Jujur Dalam Kehidupan
Allah s.w.t telah memerintahkan kepada semua hambanya
supaya menanam sifat jujur di dalam diri masing-masing dengan menjadikan
Rasulullah s.a.w sebagai “role model”. Seperti mana yang kita sedia maklum, para nabi dan
rasul sentiasa berlaku jujur dan berkata benar sesuai dengan tugas mereka untuk
menyampaikan dakwah kepada seluruh umat manusia.
Bersifat jujur kepada Allah dan rasul merupakan perkara
yang paling utama untuk memperoleh keberkatan hidup di dunia dan akhirat. Jujur
kepada Allah dan Rasul bermaksud mereka beriman kepada Allah dan Rasul dengan
sebenar-benar iman.Segala amal kebajikan dan ibadah mereka adalah ikhlas kerana
Allah Taala. Orang yang jujur kepada Allah dan rasul lazimnya berasa malu untuk
meninggalkan perintah Allah serta melakukan kemungkaran. Seperti sabda Rasulullah
s.a.w yang bermaksud : “Hendaklah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu
melihatnya. Dan ingatlah sekiranya kamu tidak melihatnya, Dia pasti melihat
kamu.” (Riwayat Muslim).
Orang yang selalu berbuat kebenaran dan kejujuran, niscaya
ucapan, perbuatan, dan keadaannya selalu menunjukkan hal tersebut. Allah telah
memerintahkan Nabi untuk memohon kepada-Nya agar menjadikan setiap langkahnya
berada di atas kebenaran sebagaimana firman Allah, “Dan katakanlah
(wahai Muhammad), ‘Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan
keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari
sisi-Mu kekuasaan yang menolong.” (QS. al-Isra’: 80)
Allah juga mengabarkan tentang Nabi Ibrahim yang memohon
kepada-Nya untuk dijadikan buah tutur yang baik. “Dan jadikanlah aku
buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian.” (QS. asy-Syu’ara’: 84)
Hakikat kejujuran dalam hal ini adalah hak yang telah
tertetapkan, dan terhubung kepada Allah. Ia akan sampai kepada-Nya, sehingga
balasannya akan didapatkan di dunia dan akhirat. Allah telah menjelaskan
tentang orang-orang yang berbuat kebajikan, dan memuji mereka atas apa yang
telah diperbuat, baik berupa keimanan, sedekah ataupun kesabaran. Bahwa mereka
itu adalah orang-orang jujur dan benar. Allah berfirman,
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat
itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman
kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintai kepada karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji,
dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang
yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 177)
Di sini dijelaskan dengan terang bahwa kebenaran itu tampak
dalam amal lahiriah dan ini merupakan kedudukan dalam Islam dan Iman. Kejujuran
serta keikhlasan keduanya merupakan realisasi dari keislaman dan keamanan.
Orang yang menampakkan keislaman pada dhahir
(penampilannya) terbagi menjadi dua: mukmin (orang yang beriman) dan munafik
(orang munafik). Yang membedakan diantara keduanya adalah kejujuran dan
kebenaran atas keyakinannya. Oleh sebab itu, Allah menyebut hakekat keimanan
dan mensifatinya dengan kebenaran dan kejujuran, sebagaimana firman Allah, “(Juga) bagi
para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta
benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka
menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. al-Hasyr: 8)
Lawan dari jujur adalah dusta. Dan dusta termasuk dosa
besar, sebagaimana firman Allah, “Kita minta supaya laknat Allah ditimpakan
kepada orang-orang yang dusta.” (QS. Ali Imran: 61)
Dusta merupakan tanda dari kemunafikan sebagaimana yang
disebutkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah
bersabda, “Tanda-tanda orang munafik ada tiga perkara, yaitu apabila berbicara
dia dusta, apabila berjanji dia mungkiri dan apabila diberi amanah dia
mengkhianati.” (HR. Bukhari, Kitab-Iman: 32)
Kedustaan akan mengantarkan kepada kemaksiatan, dan
kemaksiatan akan menjerumuskan ke dalam neraka. Bahaya kedustaan sangatlah
besar, dan siksa yang diakibatkannya amatlah dahsyat, maka wajib bagi kita
untuk selalu jujur dalam ucapan, perbuatan, dan muamalah kita. Dengan demikian
jika kita senantiasa menjauhi kedustaan, niscaya kita akan mendapatkan pahala
sebagai orang-orang yang jujur dan selamat dari siksa para pendusta. Waallahu
A’lam
“Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang
membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang
kepadanya? Bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang
yang kafir? Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya,
mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka
kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat
baik, agar Allah akan menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling
buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari
apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. az-Zumar: 32-35)